You are currently viewing Terong Tawah dan Pelajaran Hidup dari Kebun Kecil di Rumah

Terong Tawah dan Pelajaran Hidup dari Kebun Kecil di Rumah

Terong Tawah, waktu kecil dulu sering disuruh nenek nyabut rumput di kebun belakang rumahnya. Di sela-sela rumpun kangkung dan singkong, ada satu tanaman aneh, bentuknya bulat oval, warnanya ungu gelap, dengan daun lebar berbulu. Kata nenek saya, itu terong tawah.

“Ini bukan sembarang terong,” katanya. “Kalau dibikin gulai, enak banget. Tapi yang sabar, panennya lama.”

Waktu itu saya cuma angguk-angguk aja, belum ngerti. Tapi seiring berjalannya waktu, dan ketika pandemi memaksa saya pulang kampung, saya mulai “bertemu lagi” dengan si terong tawah ini. Dan di situlah semua cerita bermula.

Pertama Kali Kenal Terong Tawah – Bukan Sekadar Sayur Biasa

Terong Tawah

Kembali ke Kampung, Kembali ke Akar

Tahun 2020 jadi tahun yang mengubah segalanya. Pekerjaan di kota terpaksa berhenti, kontrakan udah nggak sanggup bayar, dan akhirnya saya pulang ke kampung — rumah yang udah lama saya tinggalkan demi impian di kota.

Di kampung, saya jadi punya banyak waktu nganggur. Akhirnya saya mulai bantu ibu di kebun belakang rumah. Mulai dari nyiram, ngasih pupuk, sampai iseng nanam bibit-bibit baru. Tapi mata saya selalu tertarik ke satu tanaman: terong tawah.

Tanaman itu kayak punya aura sendiri. Nggak banyak gaya, tapi kok kayak “punya karakter”.

Ibu cerita, itu tanaman warisan dari zaman kakek. Benihnya disimpan turun-temurun. Dan katanya, di pasar lokal harganya cukup mahal karena makin langka.

Menanam Terong Tawah, Menanam Kesabaran

Akhirnya saya putuskan: saya mau belajar tanam sendiri.

Ibu kasih saya 5 butir benih. Saya tanam di polybag pakai tanah kompos dan pupuk kandang. Tapi hari-hari pertama itu… membosankan.

Terong tawah ternyata nggak kayak bayam atau kangkung yang tumbuh cepet. Dia lambat, keras kepala, dan butuh perhatian khusus. Kalau kena hujan terlalu deras, daunnya bisa busuk. Kalau terlalu panas, daunnya layu.

Saya sempat frustrasi. Berkali-kali pengen cabut aja tanamannya dan ganti sama cabai rawit. Tapi ibu bilang, “Kalau mau sesuatu yang bernilai, ya harus sabar.”

Dan entah kenapa, kalimat itu nempel banget di kepala saya. Rasanya kayak nasehat kehidupan dalam bentuk tanaman.

Panen Pertama, dan Rasa yang Sulit Dijelaskan

Terong Tawah

Tiga bulan kemudian, batang terong tawah mulai menguat. Daunnya lebat, bunganya muncul satu-satu. Dan akhirnya… buah pertama muncul. Warnanya ungu tua, agak mengkilat. Saat dipetik, teksturnya padat dan wangi khas langsung tercium.

Kami masak jadi gulai santan dengan campuran ikan asin dan sedikit daun kemangi. Saya nggak tahu apakah rasa itu karena emang enak, atau karena perjuangan tanamnya panjang — tapi sungguh, itu salah satu masakan terenak yang pernah saya makan.

Gurih, legit, dengan tekstur lembut tapi berisi. Mirip terong bulat, tapi dengan cita rasa yang lebih dalam.

Sejak saat itu saya ketagihan. Bukan cuma makan, tapi menanam, merawat, dan menunggu. Karena ternyata, di situ ada kepuasan yang nggak bisa dikasih sama aplikasi ojek online atau layanan delivery makanan.

Pelajaran dari Terong Tawah

Banyak hal yang saya pelajari dari proses bertani sederhana ini:

  1. Kesabaran bukan berarti pasif. Tapi aktif menjaga, merawat, dan percaya bahwa hasil akan datang.

  2. Akar lokal punya nilai besar. Terong tawah mungkin nggak terkenal, tapi dia punya cerita. Punya kekuatan.

  3. Proses itu penting. Kalau saya cuma beli di pasar, saya nggak akan ngerti seberapa berartinya satu buah itu.

  4. Kita sering meremehkan yang “kecil”, padahal justru di situlah ketulusan hidup tumbuh.

Dan yang paling menyentuh, ibu bilang: “Terong tawah itu kayak kita. Nggak semua orang suka. Tapi yang ngerti, pasti cari terus.”

Mulai Blog Tanam-Tanaman Lokal

Dari pengalaman ini, saya mulai nulis. Saya buat blog kecil-kecilan: TumbuhKembali.com — isinya cerita tentang tanaman lokal yang mulai punah, tips nanam, dan kisah-kisah kecil dari kampung. Terong tawah jadi artikel pertama yang saya tulis.

Saya upload foto-fotonya, kasih step-by-step cara tanam, dan ternyata… banyak yang tertarik. Bahkan ada pembaca dari Malaysia yang bilang di tempatnya terong model begini udah susah banget dicari.

Saya sadar, konten tentang “hal kecil yang dianggap biasa” bisa jadi hal besar kalau ditulis dengan hati.

Dan dari situ juga saya belajar: SEO bukan cuma soal kata kunci, tapi soal niat. Kalau niat kita bantu orang, mesin pencari pasti bantu kita juga, dikutip dari laman resmi Wikipedia.

Terong Tawah dan Kehidupan di Era Digital

Terong Tawah

Mungkin kamu bertanya, “Apa hubungannya terong tawah sama dunia modern?”

Banyak, ternyata.

  • Mindfulness: menanam tanaman seperti ini melatih kehadiran penuh. Jauh dari notifikasi, dekat dengan tanah.

  • Slow living: hidup yang nggak diburu target, tapi punya ritme sendiri.

  • Cinta lokal: di tengah serbuan makanan cepat saji dan trend Korea, kita bisa tetap bangga dengan masakan dari halaman sendiri.

Dan itu yang saya pengen bagikan ke pembaca blog saya. Bahwa di balik sebutir benih, bisa tumbuh kesadaran baru.

Terong Tawah Bukan Cuma Sayur, Tapi Simbol Perjalanan

Sekarang, hampir setahun sejak saya mulai nanam pertama kali. Terong tawah masih tumbuh di kebun belakang. Kadang saya kasih ke tetangga, kadang kami masak bareng-bareng. Rasanya tetap sama: hangat, membumi, dan bikin inget rumah.

Saya nggak pernah nyangka, dari tanaman sederhana ini saya bisa belajar tentang hidup, tentang sabar, dan tentang menulis dari hati.

Dan saya harap, lewat tulisan ini, kamu juga ikut merasakannya.

Kalau kamu punya halaman kosong di halaman belakang rumah, cobalah tanam sesuatu. Mungkin nggak harus terong tawah. Tapi tanamlah apa saja yang bisa bikin kamu “kembali ke tanah”.

Karena kadang, yang kita butuh bukan kecepatan… tapi kedalaman.

Baca Juga Artikel dari: Boston Marathon 2025: Pelari Amatir Indonesia Sampai Finish

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi

Author